Siap-siap

Kini, bukan persoalan kemenangan dan kekalahan.
juga cinta dan khianat. tetapi menjelaskan
bahwa di keduanya ada hidup selalu berjaga.
teruslah berlari dari kaki-kaki terkecil...

Rabu, 24 Maret 2010

Teater

Tubuh Tanpa Sejarah

coba
12.12.2009 14:23:41 WIB

Oleh CONIE SEMA*

Teater dan aku tiba-tiba dikejutkan narasi media membludak masuk ke rumahku. Ia melangkah setiap tapak ratusan kilometer jauhnya. Namun tubuh besar tersebut melenggang tanpa ada kesulitan memasuki ruang demi ruang rumahku. Hingga ada bersama di atas tempat tidur kami...

Gambaran bahasa di atas adalah salah satu peristiwa paradoks yang secara alamiah beradaptasi menjadi hal biasa. Dapat diterima kehadirannya. Ketika peristiwa tersebut berlangsung aku melihat banyak tubuh pecah melahirkan ribuan tubuh bersama peristiwa yang melatarinya. Teater menjadi sosok yang hilang dari keagungan karakter. Seluruh tokoh tidak lagi memperbincangkan persoalan menjadi dirinya atau orang lain.

Meta bahasa bersama tubuh yang esensial lalu lalang dengan penandaan nilai budaya, tradisi, bahkan tuhan. Seakan hendak mengatakan realitas sejarah ibu dan anak. Seperti kegelisahan mengucapkan kembali 100 tahun bersama ibu dan abjad turunannya.

Adakah yang ganjil ketika teater menghitung satu persatu bahasa dan beragam teks lainnya, dari panggung pertunjukan (peformance art), apabila mampu menghibur, berempati dan lain-lain. Atau sebaliknya, membosankan, norak, mengada-ada dan umpatan lainnya. Standarisasi itu yang mengesankan aku menjadi "lain" ketika melihat tubuh secara visual menjadi sosok lain yang melepaskan hitungan matematika atau persoalan ibu dan anak. Sehingga aku harus mencari pengucapan lain dari fenomena narasi media yang setiap hari masuk ke rumah, tanpa ukuran tubuh yang jelas.

Aku membaca rumahku, setelah 100 tahun menutup pintu ibu. Kalimat pendek itulah yang muncul sebagai siasat untuk tetap bertahan dalam ruang-ruang yang sangat disibukkan oleh peristiwa penandaan. Aku seakan berteriak mengajak orang-orang kampungku untuk memecah tubuhnya menjadi pribadi-pribadi yang tak muncul sebelumnya. Berat memang! tetapi setidaknya ada kegelisahan baru yang melahirkan sebuah peristiwa teater. Meski akan menjumpai kesepian baru.

Mungkin saja, tubuh teater kita hari ini bukan tubuh yang teratur atau liar, seperti teks Teater Garasi atau Tetas. Kita bukanlah tubuh yang dinyatakan atau menyatakan. Tubuh itu tak pernah ada, jika sesekali dia mampir ke ruang kita, itu pun hanya pernyataan teks sebagai isyarat kecemasan atau tanda bahaya. Stanislavski ada dalam tubuh yang dinyatakan. sehingga teater hanya sebatas sekolah dan masjid. Ruang lain menjadi sepi tak terisi...potlot berusaha hadir dalam ruang kesepian itu. Menjadi tubuh baru yang bebas bergerak dan membentuk ribuan ruang dengan ribuan tubuh yang berbeda, seperti hendak mendeklarasikan kematian bahasa dan sejarah dirinya, setiap hari. hahahaha...!

*) Jurnalis dan pekerja seni

Foto: www.solopos.com

Tidak ada komentar: