Siap-siap

Kini, bukan persoalan kemenangan dan kekalahan.
juga cinta dan khianat. tetapi menjelaskan
bahwa di keduanya ada hidup selalu berjaga.
teruslah berlari dari kaki-kaki terkecil...

Jumat, 19 Desember 2008

Peran Pers Mewujudkan Demokrasi*)

Oleh CONIE SEMA

Prolog: Sejak lama Amerika Serikat selalu menyatakan kebebasan berbicara dan mengutarakan pendapat. Paham ini menjadi ‘barang jualan’ AS setiap kali menjual paham demokrasi dan kapitalisme. Namun, kenyataan yang terjadi jauh dari teori yang selama ini mereka tawarkan untuk meninabobokan pengikut paham kebebasan bersuara ala AS. Sejak lama negara tersebut menggunakan media sebagai senjata untuk menipu rakyat dan dunia.

Dalam buku bercudul: Mesin Penindas Pers: Membongkar Mitos Kebebasan Pers di Amerika, yang merupakan kesaksian sejumlah wartawan top Amerika peraih penghargaan korban pemberangusan sistematis, yang dieditori Kristina Borjesson (2006), bisa ditemukan perjalanan upaya penindasan pers yang dilakukan secara sadar, terencana, dan sistematis oleh pemerintah AS melalui sistem di media besar di negara tersebut.

Salah satu contohnya adalah saat jaringan televisi CBS enggan menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia untuk meningkatkan kecanduan perokok. Bahkan, televisi CNN, yang berhasil mensejajarkan diri dengan jaringan televisi raksasa lain pasca peliputan perang Irak-Kuwait, akhirnya tak kuasa untuk menelikung pemberitaannya agar menguntungkan AS. Untuk mempertahankan hegemoninya, banyak praktik kotor yang harus dilakukan pemerintah AS. Tak hanya berkubang dalam industri obat bius, tapi juga pelanggaran hak asasi manusia setiap kali terjadi kudeta.

Cukilan buku tersebut merupakan analogis, bagaimana sebuah sistem kekuasaan menguasai opini publik melalui media massa. Fenomena tersebut juga dialami banyak media massa terutama yang menginginkan masyarakat dan sistem demokrasi yang bersih.

Di Indonesia pasca kekuasaan otoriter Soeharto, memasuki fase baru demokrasi. Masa transisi demokrasi ini, mengambil peran besar sebagai agen perubahan untuk mewujudkan demokrasi sejati. Pers yang disebut-sebut sebagai pilar atau institusi keeempat demokrasi (setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif), diharapkan mampu mendorong proses demokratisasi, baik melalui mekanisme formal maupun mekanisme struktural.

Mekanisme formal yakni melalui, lembaga politik, perangkat undang-undang, dan hukum yang yang demokratis. Sedangkan mekanisme struktural diciptakan dari perimbangan kekuasaan antara masyarakat dan pemerintah yang sedang diuji dan diuji.

Agar tidak melebar ruang diskusi kita soal demokrasi ini, kita coba memetakan beberapa pokok bahan diskusi berkaitan dengan agenda demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia.

1. Pemetaan Posisi Pers dan Lembaga Politik .
2. Independensi Pers dan Gerakan Demokrasi.
3. Agenda.

Dari ketiga topik tersebut kita ambil studi kasus peristiwa politik,yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang sudah berlangsung di seluruh daerah di tanah air. Artinya peristiwa politik tersebut menjadi bahan kajian kita bersama, sejauh mana posisi pers mendorong instrumen-instrumen demokrasi yang terlibat dalam proses pemilu daerah tersebut. Serta sejauhmana independensi pers itu sendiri untuk menjadi inspirasi terdepan memberikan pendidikan politik masyarakat sehingga mampu berpikir rasional. Terutama ketika harus menentukan pilihannya pada calon-calon kepala daerah. Hal tersebut selain upaya mewujudkan kehidupan demokrasi yang lebih baik, dan usaha terpilihnya para pengelola pemerintahan di daerah yang lebih baik dan kredibel.

Musim semi pilkada tersebut, dapat kita eksplor dalam diskusi ini, sejauhmana peran pers khususnya media massa di daerah, ketika berhadapan dengan kandidat bersama partai politik pendukungnya, baik dalam konteks independensi, dan sebagai kontrol sosial terhadap institusi demokrasi seperti KPU Daerah, Ormas, Ornop, dan lainnya.

Ada beberapa tolak ukur kita untuk mengetahui sejauhmana peran pers dalam proses politik pilkada tersebut, terutama mendorong kualitas hak-hak institusi demokrasi dalam segala tingkatan politik masyarakat;

1. Penyelenggaraan pemilu yang bebas dan jujur, serta mekanisme pemilihan yang transparan.
2. Sikap partai terhadap berbagai isu dan kepentingan vital di dalam masyarakat.
3. Independensi partai-partai terhadap praktek politik uang, serta kepentingan etnis dan agama.
4. Kemampuan partai untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan.
5. Kinerja lembaga independen dan perangkat demokrasi lainnya untuk mendorong representasi rakyat, mewujudkan pemerintahan bersih dari korupsi, dan lain-lain.

Berbagai riset yang dilakukan lembaga kajian demokrasi seperti Demos menunjukkan kinerja institusi demokrasi tersebut masih buruk. Peristiwa transisi demokrasi malah memunculkan banyak para elit oligarki, dari tiga poros; pejabat, pengusaha, dan preman. Hal ini lebih banyak terjadi pada gerakan demokrasi di tingkat lokal. Demokrasi seakan telah dibajak kekuatan oligarki tersebut. Partai-partai politik pun sudah sebagain besar “dibeli” para pengusaha. Mereka juga membentuk organ-organ paramiliter, untuk pengamanan “alternatif” kiprah mereka di masyarakat.

Tentunya masalah di atas akan perkembang dalam diskusi ini.

Epilog: Kebebasan Pers dan Agenda Demokrasi

Kebebasan pers pasca reformasi sebetulnya mulai terbuka. Munculnya undang-undang Nomor 40 tentang Pers, sudah ada ruang terbuka yang memungkinkan pelaku pers lebih berperan aktif mendukung proses demokrasi di Indonesia. Dalam konteks itu adalah wajar, jika kita bertanya atau istilah bekennya menggugat sejauhmana peran pers atau media massa, baik cetak dan elekteronik, serta media on line, mendukung agenda-agenda demokrasi.

Dalam seminar pers di Jakarta beberapa waktu lalu, Toshiyuki Sato, dari Kantor Berita Jepang NHK mengatakan, kebebasan pers memiliki peran sebagai stabilisator dalam masyarakat demokratis. Media yang memiliki peran pengontrol dalam masyarakat bertanggung jawab untuk mengkritik pemerintah yang cenderung koruptif, atau menentang perkembangan demokrasi itu sendiri.

Menurut Toshiyuki, dengan peran itu, media massa mampu mendewasakan masyarakat yang dilayaninya. Untuk itu, semakin hari media massa, termasuk wartawannya, harus bersikap imparsial dan independen. Di sisi lain, intervensi pemerintah terhadap media harus diminimalkan. “Untuk itu, media harus selalu terbuka terhadap kritik dan siap bertanggung jawab atas apa yang diliputnya,” lanjut Toshiyuki.

Dari sekian banyak agenda-agenda demokrasi yang sedang bergulir saat ini, setidaknya dapat dilihat dua agenda besar: desentralisasi pemerintahan dan desentralisasi politik.

Desentralisasi pemerintahan sudah membuahkan undang-undang otonomi daerah. Perimbangan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah. Di ranah politik, desentralisasi politik masih berjalan lamban, meski sudah begitu banyak dilakukan amandemen undang-undang politik. Secara struktural perubahan menuju demokrasi sudah mulai nampak, meski secara subastansial masih banyak dinilai para pengamat kineraja institusi demokrasi ini masih buruk. Seperti koreksi terhadap Komisi Pemilihan Umum KPU Pusat dan KPU daerah.

Agenda demokrasi ke depan setelah munculnya kesempatan calon-calon independen dalam revisi undang-undang politik. Juga hendaknya diikuti muncul partai-partai politik local. Karena sistem politik sekarang masih sangat sentralistik ke pusat atau pengurus partai di pusat. Untuk mengganti anggota parlemen di tingkat kabupaten, pengurus daerah harus meminta persetujuan pengurus pusat.

Tentunya pers diharapkan mendorong percepatan proses demokrasi tersebut merujuk ke beberapa hal yang menjadi acuan dan kaidah atau nilai demokrasi itu sendiri. Kaidah tersebut menurut Henri B. Mayo:

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.
Dalam setiap masyarakat terdapat perselisihan pendapat serta kepentingan, yang dalam alam demokrasi dianggap wajar untuk diperjuangkan. Perselisihan-perselisihan ini harus dapat diselesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka dalam usaha untuk mencapai kompromi, konsensus atau mufakat. Kalau golongan-golongan yang berkepentingan tidak mampu untuk mencapai kompromi, maka ada bahaya bahwa keadaan semacam ini mengundang kekuatan-kekuatan dari luar untuk campur tangan dan memaksakan dengan kekerasan tercapainya kompromi atau mufakat.

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam masyarakat yang sedang berubah.

Dalam setiap masyarakat yang memodernisasikan diri terjadi perubahan sosial yang sebabkan oleh berbagai faktor. Pemerintah harus dapat menyesuaikan kebijakannya kepada perubahan-perubahan ini, dan sedapat mungkin membinanya jangan sampai tidak terkendalikan. Sebab kalau hal ini terjadi, ada kemungkinan sistem demokratis tidak dapat berjalan, sehingga timbul system diktatur.

3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur.

Pergantian atas dasar keturunan, atau dengan jalan mengangkat diri sendiri serta ketiadan pergantian pemimpin dalam jangka waktu tertentu dianggap tidak wajar dalam demokrasi.

4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai tingkat minimum.
Golongan-golongan minoritas yang sedikit banyak kena paksaan akan lebih menerimanya kalau diberi kesempatan untuk turut serta dalam diskusi-diskusi yang terbuka dan kreatif,

5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman.
Dalam masyarakat yamg tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku. Untuk hal ini perlu terselenggaranya suatu masyarakat terbuka serta kebebasan-kebebasan politik yang memungkinkan timbulnya fleksibilitas dan tersedianya alternatif dalam jumlah yang cukup banyak.

6. Menjamin tegaknya keadilan.
Dalam hal ini semua masyarakat mempunyai hak-hak yang sama serta adanya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan dan perorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa. (Miriam Budiarjdo, 2003 : 62-63)

Terakhir, dunia pers juga harus melakukan reposisi peran dalam perjuangannya, dikaitkan dengan paradigma demokrasi Indonesia Baru, yang akan mengakselerasi peningkatan kesejahteraan bangsa kita secara adil dan beradab, dengan berbagai kearifan metodologis yang mampu meningkatkan kualitas kesadaran motivasi masyarakat untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya secara mandiri, tanpa kehilangan citra dan jatidirinya sebagai bangsa yang relijius dan berbudaya.

Dengan demikian, dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan kepemerintahan yang baik (good government), dikaitkan dengan paradigma otonomi daerah (Otda), peran pers semakin strategis dalam membangun budaya dialogis, sebagai modal dasar terwujudnya masyarakat madani yang demokratis, adil dan beradab. Sehingga, dalam proses aktualisasinya, antara pemerintah dengan masyarakat, terjalin hubungan yang kondusif, dalam arti saling memahami dan saling percaya-mempercayai, tanpa ada unsur kebencian, akan peran dan posisinya masing-masing, dalam rangka membangun kemakmuran negeri ini.

Ok. Salam pembebasan!

*) disampaikan pada kemah jurnalistik di jambi, 20 Desember 2008

Conie Sema: Wartawan RCTI, aktif dalam kegiatan-kegiatan pro demokrasi, Ketua Studi Pembangunan untuk Demokrasi (SPED) di Lampung, Senat Majelis Prodem Indonesia (2005-2008). Domisili di Lampung: Jalan Imam Bonjol 544-A, Bandar Lampung. HP: 0811722410, Email: conie@indo.net.id, atau www.coniesema.blogspot.com.

Minggu, 23 November 2008

Ikuti Novel Perahu


IKUTI novel saya berjudul Perahu di www.novelperahu.blogspot.com. Novel ini bersetting Lampung dengan berbagai persoalan sosial dan politiknya. Saya menulis novel, karena saya ingin menulis. Dan saya merasa lucu sehingga saya menulis novel. [*]

Jumat, 17 Oktober 2008

Mairat Mei

Cerpen CONIE SEMA

JOSE Ortega Gasset berkata, "Man has no nature; what he has is history." Bukankah hakikat manusia justru adalah kesejarahannya? ujar filsuf dari Spanyol itu. Tidak ada kepergian yang sempurna ketika Mei Hwa menjemput persalinan tanpa Rohan, suaminya. Mei menghilang di antara kerumunan benda-benda medis, dokter rumah sakit, apotek, dan klinik di kotanya. Ia paham setiap pagi harus menelepon untuk mengonsulkan keadaan bayi yang akan lahir dari perutnya.

"Hello, is this Graha Medical Hospital?"

"Yes! Who is speaking?" tanya wanita di telepon itu.

"Miss Mei Hwa, from Sakai City. May I speak director?"

"Just a moment, please; I'll see if he is in," katanya.

"Hello, hello. Is he in?"

"I'm sorry, he is going home. He is tired."

"What time will be here?"

"He won't be here this day. You'd better call him."

"What is telephone number?"

"Please dial number one two three four five."

"Thank you!" balas Mei meletakkan gagang teleponnya.

Mei Hwa tersenyum di atas ranjang rumah sakit. Ia baru saja melahirkan seorang bayi. Mei tidak peduli apakah bayi perempuan atau laki-laki. Paling penting baginya, hari itu ia terbebas dari kepungan benda-benda properti medis rumah sakit. Mei lega.

Ia bisa berbicara lagi tanpa ketakutan. Mei berharap tidak begitu lama bayinya bisa berdiri, berlari, dan berteriak sesuka hati. Beberapa kali Mei membacakan doa dan terima kasih kepada bapak-ibu, kakek-nenek, dan leluhur sebelumnya. Mereka telah mewariskan kemampuannya, kawin, hamil, dan melahirkan anak. Mei seperti mereka, akan mewariskan itu kepada anaknya. Anak-anak itu akan mengenal struktur tubuh yang terbuka, bahkan bagian tertutup dan terlarang. Menghapal bau tubuh lawan jenisnya.

Bermain seks seharian. Lalu bunting dan beranak. Bunting lagi dan beranak sebanyak-banyaknya. Mei yakin secara alamiah, anaknya pun mampu membaca seks. Fasih berbahasa cabul. Menyebut alat kelamin. Bertelanjang di hadapan pasangannya. Serta kewajaran alam lainnya. "Maaf, Dok, ini anakku yang pertama," jelas Mei.

Dokter tidak menjawab. Ia mengamati layar USG di atas sebelah kanan kepala Mei yang terlentang di atas ranjang, sembari menggerakkan alat deteksi di atas perut kecil Mei Hwa. "Suamiku sibuk. Ia tak sempat menemani aku kemari."

Dokter lalu menarik sedikit ke bawah celana dalam Mei. Matanya berkali-kali melihat ke layar monitor USG. Mei agak risih. Ia ingat kelakuan serupa suaminya ketika masa pacaran. Rohan beberapa kali menarik ke bawah celana dalamnya. Tapi seperti tangan dokter, hanya mencapai batas atas kemaluannya.

Mei buru-buru menarik tangan Rohan ketika turun lebih jauh menyisiri kemaluannya. Tak jarang Mei marah-marah dan menghentikan cengkerama cintanya. Kalau sudah seperti itu, wajah Rohan berubah pucat, terlihat tegang. Kadangkala sampai satu minggu mereka tak bertegur sapa.

"Sebelum kemari, suamiku menelepon. Ia bilang, ada rapat sore di kantornya. Ia akan menjemputku pulang," jelas Mei.

"Kamu yakin?" tanya dokter sembari menempel dan menggerakkan alat deteksinya di bagian atas kemaluan Mei.

"Kenapa?"

"Tidak. Saya ragu rapatnya selesai sore ini," jawab dokter sambil membuang senyum ke suster yang mendampinginya. Suster itu membalas senyuman dokter.

"Kenapa anda menyimpulkan suamiku seperti itu. Sejak pacaran, ia paling tepat janji. Tak pernah mangkir dari apa yang diucapkannya. Ia tak pernah telat mengantar dan menjemputku kuliah. Ia tak mau merepotkan orang lain karena pekerjaannya. Ia pekerja keras. Jujur dan tidak sombong. Ia sangat sayang kepadaku. Itu alasan mengapa aku memilih hidup bersamanya."

Dokter tidak menanggapi Mei. Ia meninggalkan Mei dan suster, menuju ke meja kerja yang bersebelahan kamar periksa. Di sana, pasien lain sudah menunggu.

"Tidak usah kau bahas kelakuan dokter itu. Mungkin ia punya pengalaman buruk. Saya berharap, kamu lebih betah cek kandungan kamu ke mari. Saya berusaha melayani semua pasien sebaik mungkin," kata dokter itu tersenyum manis, mempromosikan pelayanannya. Mei berhenti bercerita. Ia menunggu apakah dokter itu juga akan menarik celana dalamnya ke bawah. Sudah 10 menit ia memainkan alat deteksinya di atas perut Mei. Mei menduga ia lebih suka menyentuh perutnya yang tipis ketimbang kemaluannya. Mei tidak tahu apakah dokter muda itu telah menikah dan memiliki anak. Apakah terlatih bermain seks. Bertelanjang di hadapan pasangannya. Dan, fasih menyebut alat kelamin pasangannya. Mei menatap wajahnya yang sedari tadi bolak-balik dari menatap perut Mei ke layar monitor USG. Wajah itu begitu polos. Seperti kertas putih yang belum bercoret atau bergambar. Mei mencoba menebak artefak sejarah yang tersembunyi di balik wajah itu. Bola matanya bening. Alisnya rapi dan dirawat baik.

Begitu damai dan teduh. Mei baru kali ini bertemu anatomi wajah seperti itu. Ia kagum. "Maaf," kata dokter itu, menyingkapkan lebih tinggi baju kaos Mei.

Ia yakin kali ini tidak salah lagi memilih dokter. Mei menikmati gerakan tangan mungil sang dokter bersama alat deteksi di atas perutnya. Mei begitu percaya dan yakin dokter itu pasti melakukan yang terbaik untuk bayi di kandungannya.

Mei mencoba mencari bahasa santun untuk mengungkapkan kepuasan atas layanan medis dokter itu. Di benak Mei saat itu, ia akan berulang-ulang kembali lagi ke ruang praktek dokter itu. Ia menginginkan sang dokter pun akan berulang-ulang melakukan hal yang sama di atas perutnya. Tidak ada waktu bagi Mei berlama-lama menjelajah imajinasi seks dan kelahiran bayi.

Mei lahir di Tianjing, di mana seorang dokter menjadi bagian perangkat negara. Mei tidak bisa sesuka hati membangun bahasa-bahasa ibu dan anak. Seperti keinginan Mei memiliki ratusan anak dari setiap orang. Tetapi ia sadar hanya spermatozoa yang membuahi sel telurnya. Mei tidak bisa berharap banyak meski imajinasi seksnya menghendaki bercinta setiap hari dengan dokter itu. Sudah delapan dokter ahli kandungan di kota itu memeriksa Mei.

Semuanya melakukan hal yang sama. Sore itu, Mei berangkat ke kota lain. Ia mendapat tugas dari kampusnya, menjadi mentor program pemberdayaan petani. Mei berkesempatan memeriksa kandungan kepada dokter yang ada di sana.

"I am delighted to know you."

"My pleasure, too," jawab Mei kepada dokternya yang baru.

"Do you come from this village?"

"No. Ia don't."

"I am sure that you will be very happy here," tebak dokter itu kepada Mei.

"Of course. I help the village how to practise agricultures."

"Will you call at my house?" tawar dokter sambil tersenyum lembut.

Mei tersentak. Ia selalu menunggu kalau ada dokter yang memeriksanya menawarkan berkunjung ke rumahnya. Mei berharap dokter berambut pirang yang tengah melaksanakan kewajiban akademik dari kampusnya itu, hanya sendirian menunggu rumahnya.

Mei sendiri sudah satu pekan berkunjung ke desa itu, dalam rangka mensosialisasikan program pemberdayaan masyarakat petani dengan pola alih teknologi. Mei begitu bersemangat. Ia tidak akan kesepian. Ia mendapatkan teman baru yang kebetulan dokter kandungan. Mereka bisa saling berkunjung. Seharian menumpahkan perasaan hati.

"Very pleased to call at your house. But when will be convenient for you?"

"At anything being."

"How about at seven o clock?"

"Fine!" jawab dokter bersemangat.

Mei masih terpaku menatap dari belakang tubuh yang indah itu berlalu dari tempatnya berdiri. Malam ini ia akan berdua dengan dokter itu. Bercerita panjang sambil makan malam. Bertukar pengalaman hingga larut malam. Entah mengapa ia berharap dapat bercinta dengan dokter itu.

***

Udara malam. Bulan bulat penuh. Sinarnya menerobos masuk ke kamar tidur. Sudah enam bulan Mei di kamar itu. Hanya bayi di kandungannya yang sesekali menendang-nendang dinding perutnya.

Mei tidak tahu kenapa suaminya tidak juga pulang. Tidak menelepon akan menjemputnya dari tempat praktek dokter. Mei melihat tubuh ramping dan putih itu masih terbujur di atas ranjang. Cahaya bulan membentuk bayang siluet di atas tubuh yang tak terbalut selembar benang itu.

Hidup begitu meletihkan. Mei melihat wajah teduh dan damai itu tertidur pulas memeluk mimpi. Sudah beberapa dokter terbujur letih di atas ranjang kamar itu. Mei tak pernah mempersoalkan kelaminnya. Mereka orang-orang terpilih. Mei merasakan ada kedamaian dari sentuhan lembut tangan-tangan yang halus itu.

Mei tidak lagi memusingkan apakah suaminya akan menelepon atau tak pulang selamanya. Ia tak akan mencari tahu atau meneleponi Rohan. Lelaki itu raib dari rumah enam bulan lalu. Ia hanya pamit menjenguk ibunya. Keluarga suaminya juga mencari keberadaan Rohan. Mereka khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap Rohan. Belakangan keluarganya tak pernah lagi menghubungi Mei, menanyakan apakah Rohan sudah pulang. Mei menyimpulkan Rohan tidak membutuhkan lagi ia dan anaknya. Mei harus bersiap melahirkan bayi tanpa dijaga suaminya.

***

Sore itu, matahari pucat. Mei menahan nyeri melingkar dari punggung memencar ke perut bagian depan. Semakin lama semakin nyeri. Di atas ranjang rumah sakit Mei merasakan kontraksi di perutnya. Jarak intervalnya pun semakin pendek. Mei tidak mau mati dalam persalinan. Ia menolak dioperasi.

Dokter-dokter yang sempat singgah di kamar tidurnya, berulang-ulang meyakinkan bahwa ia akan melahirkan normal. Tidak induksi atau tindakan yang menggunakan forsep atau vakum ekstraksi. Dokter-dokter itu rutin memantau perkembangan Mei dan janin di perutnya dengan pemeriksaan fisik, seperti kesadaran, anemia, nadi, tensi, suhu badan, pernapasan, dan sebagainya. Dokter juga melakukan pemeriksaan obstetri.

Menyentuh perut Mei, merasakan letak janin. Dari layar monitor USG, para dokter melihat dan mengidentifikasi keadaan vagina Mei, tebal cervix, pembukaan, posisi kepala, dan turunnya presentasi kepala, serta bagian-bagian kecil janin di kandungannya.

Tidak banyak bisa dibaca Mei dari aktivitas dokter-dokter yang pernah memainkan tangan di atas perut hingga bagian atas kemaluannya. Mei belajar mengompromikan etika dengan keharusan medis. Kesepakatan itu entah mengapa muncul secara alamiah.

Tidak terpaksa, apalagi dipaksa. Mei tidak menolak. Jika akhirnya dokter meminta dioperasi. Kendati untuk sekarang ini, Mei menolak. Ia tak mau bayinya lahir, ketika ia dalam kondisi tak sadarkan diri karena dibius total. Mei tak mau terlalu lama dipisahkan dari bayinya karena harus masuk ke ruang recovery usai operasi. Ia ingin melahirkan bayinya, bisa langsung kontak semua orang untuk mengabarkan kebahagiaannya.

***

Malam itu, hampir satu bungkus rokok habis diisapnya. Seluruh kamar tidur Mei sesak asap nikotin. Sementara tubuh berkulit halus itu masih tertidur pulas di ranjangnya. Lampu kamar tak pernah lagi dihidupkan. Mei dan dokter hanya berharap siraman cahaya bulan di luar sana, menerobos masuk kamarnya.

Sudah satu bulan Mei kembali ke rumahnya. Dokter berambut pirang itu ikut bersamanya.

"Mengapa kami kehilangan lelaki?" ujar Mei seolah berbisik dengan purnama mewakili tubuh dokter yang terbujur letih di kamarnya. Sudah puluhan purnama Rohan membiarkan Mei dan bayinya, bersama dokter di kamar itu. Mei menatap dokter yang lelah setelah bercinta sejak sore di kamarnya.

Mei lalu melihat kembali purnama yang bulat penuh. Ada siluet wajah bayi muncul di sana. Mei membayangkan puncak jeritannya saat bercinta dengan jeritan panjang ketika hendak mengeluarkan bayi dari perutnya. Mei merasakan prosesi seks yang jauh dari kenikmatan ketika melahirkan seorang anak. Semula ia berkali-kali menjerit menahan sakit. Berkali-kali menarik napas dan menahannya.

Ketika kontraksi semakin pendek intervalnya, Mei membuang kesakitan itu ke wajah sang dokter. Ia membayangkan bercinta dengan dokter itu. Tubuh Mei tergeletak di atas ranjang, terlihat mengejang. Ia bertarung hidup mati menembus lendir bercampur darah yang keluar begitu banyak. Mei menghafalkan lekukan tubuh dokter dengan harapan masih ada kenikmatan dalam prosesi persalinannya.

"Bertahanlah. Tariklah napas dalam-dalam. Sebentar lagi bayimu lahir," kata dokter memberi semangat. Mei tidak menjawab. Dan memang tidak bisa menjawab. Ruang dingin dalam kamar persalinan, menyeka laju keringat dari tubuh orang-orang medis yang menunggu bayi muncul dari vaginanya yang mulai membesar. Mei tersenyum sambil menahan sakit. Ia berusaha menikmati kesakitan itu. Rektum terlihat menonjol. Anusnya pelan-pelan membuka. Labia terbuka dan bagian kepala bayi itu kelihatan muncul di lubang vagina. Pembukaan cervix begitu sempurna. Bayi Mei lahir. Ia bukan laki-laki. Mei merasa letih bercampur gembira. Ia melahirkan bayi tanpa operasi. Bayi itu, sekali lagi, bukan laki-laki. "Mengapa kita kehilangan lelaki?" tanya dokter itu.

***

Dua tahun setelah Mei melahirkan bayinya, Rohan muncul. Ia tidak tidur di ranjang kamar mereka. Karena sudah menjadi kamar praktek dokter-dokter yang bergantian menjaga isterinya. Rohan paham. Ia terlalu lama meninggalkan kamar tidur itu tanpa menitipkan metafora dirinya. Hanya sekotak kondom tua yang sudah rusak dan bocor dimakan waktu. Kondom-kondom itu tergeletak di atas nakas kecil sebelah ranjang tidur Mei.

Seakan memprovokasi kebencian purba kaum perempuan terhadap lelaki. Rohan pulang. Ia mengajak Mei sekali lagi bercinta seharian dari kamar hingga ke tepi tangga ruang belakang. Namun Mei menolak. Ia tak punya waktu menjinakkan kembali keliaran tubuh dokter berambut pirang dan dokter-dokter lain yang terkapar di atas ranjangnya. Mei dan dokter-dokter berlengan halus itu sudah terlalu lama kehilangan lelaki. Sulit baginya menghidupkan kembali berahi masa lalu melalui artefak sejarah lelaki yang terlupakan.

Mei akhirnya membunuh Rohan, setelah malam itu suaminya berhasil memerkosanya. Rohan hanya tersenyum ketika Mei menancapkan pisau dapur itu berulang-ulang ke perutnya. Rohan menikmati kekerasan demi kekerasan di atas ranjang kamarnya.

Percikan darah yang muncrat dari tubuh lelaki itu memenuhi tembok kamar. Rohan kembali tersenyum penuh kemenangan hingga akhirnya mengejang kaku. Tidak lama dari aksi pembantaian itu, telepon genggam Mei berbunyi.

"Very pleased to call at your house. But when will be convenient for you?" kata Ana Maria, satu dari dokter-dokter yang menjadi teman tidur Mei. Mei tidak menjawab. Ia baru kehilangan tubuh lelaki. Rohan telah meningalkannya. Mei sempat memotong kemaluan suaminya, untuk mempertegas metafora dari kebermaknaan purba itu. Sepuluh tahun kemudian Rohan kembali bersamanya dalam kamar itu. Sementara bayi yang bukan lelaki, semakin membesar membangun kontruksi tubuhnya sendiri. Mei hanya menangis.

Dokter-dokter persalinan dalam kamarnya tak mampu membesarkan perutnya untuk melahirkan bayi-bayi baru sebanyak mungkin. Sebagaimana mimpi-mimpi Mei ketika dinikahi Rohan. "Tak akan pernah lahir bayi dari tubuh halus mereka," ungkap Mei menoleh ke dokter yang masih tertidur pulas di ranjangnya.

"Mengapa kamu membunuh Rohan?" tanya ketua majelis hakim.

"Ia tidak mencintai aku," jawab Mei.

"Kamu menyesal?"

"Tidak!"

"Mengapa?" tanya hakim kesal.

"Aku tak butuh Rohan!"

Mei akhirnya divonis hukuman 10 tahun penjara. Di dalam kamar sel wanita penjara kelas satu itu, Mei menemukan sejarah dirinya. Ia tersenyum. Karena tidak lagi mengonsumsi simbol kemaluan suaminya. Mei pergi dengan mengebatkan sal panjang di lehernya. Ia tak ingin terperangkap jeruji besi kamar sel itu.

Mei ingin melepaskan keletihan. Tidur memeluk sunyi. Lalu tubuh perempuan itu jatuh mencium lantai. Pintu sel dibuka. Terlihat samar sepatu-sepatu lelaki berjajar tepat di wajahnya. Setelah itu gelap. Mei pergi meninggalkan penjara dan bayinya yang terus membesar. Mereka bukan lelaki. (*)

Senin, 13 Oktober 2008

Lesung


Akulah lesung bagi kerinduanku akan sejarah Kisam. Akulah lesung yang hilang dari aroma sungai. Bergelut dengan dingin pengelandangan.

Jumat, 10 Oktober 2008