Siap-siap

Kini, bukan persoalan kemenangan dan kekalahan.
juga cinta dan khianat. tetapi menjelaskan
bahwa di keduanya ada hidup selalu berjaga.
teruslah berlari dari kaki-kaki terkecil...

Sabtu, 20 Maret 2010

Portofolio

Catatan Conie Sema

Aku kembali membaca rumahku.
Setelah 100 tahun menutup pintu ibu...


Portofolio dalam ruang pribadi seseorang tidak sekedar sekumpulan informasi pribadi. Atau catatan dan dokumentasi atas pencapaian prestasi dalam parameter tertentu. Peristiwa penting bahkan teramat penting, kadangkala memprasastikan sejarah hidup dirinya sehingga begitu getir, erotik dan selebrasi.

Banyak sumber portofolio sejarah, jika kita mengumpulkan kembali serpihan ingatan masa kecil, 50 tahun lalu. Seperti pengalaman tragis masa poskolonial, ketika kita hendak menuju Indonesia menjadi sebuah negara, atau sering disebut proses “menjadi Indonesia”. Memoar hidup masa itu penuh dengan coretan hitam, penaklukan dan kekuasaan. Penindasan, penghinaan, dendam, kekalahan, dan gemuruh perang.

Kegetiran dan tragedi hadir dalam ruang refleksi kita. Menjadi gumpalan energi untuk berpikir dan meluapkan kreativitas, bahkan melawan untuk memerdekakan diri kita. Begitu banyak syair mengungkapkan kritik, sikap pribadi, dan ketegasan untuk menolak segala bentuk penindasan masa poskolonial tersebut.

Namun kadangkala kita tidak jujur mengakui bahwa kita dan masa lalu bangsa kita banyak tumbuh dari kebohongan. Kita merasa selesai merumuskan Indonesia setelah menuliskan manuskrip negara bernama Indonesia dari selembar teks, yang hanya disaksikan dan dihadiri segelintir anak-anak bangsa. Kegetiran tersebut bisa saja menjadi ruang teks kita untuk membaca dan menuliskan kembali tragedi sekitar kita ketika banyak orang merasa tidak meyakini Indonesia. Atau ada upaya untuk melepaskan teks dirinya dari sebuah kolektifitas yang integratif. Fenomena tersebut sering menjadi kegetiran yang ‘berpihak’ atau penisbihkan teks-teks kolektif atau kebangsaan sebelumnya.

Dalam wilayah kontestasi karya, banyak peristiwa atau fakta yang kita manipulir di ruang informasi publik. Kamuflase-kamuflase itu sebetulnya dilakukan hanya sebatas pertimbangan kebutuhan tertentu, yang tanpa kita sadari telah membunuh kreativitas dan proses mengukuhkan eksistensi berpikir. Berpuluh-puluh tahun kita dihadapkan kontestasi karya, sastra misalnya, selalu dijejali subjek-subjek kepentingan. Ironisnya, kepentingan tersebut di luar imajinasi dan inspirasi pribadi. Bagaimana mungkin kita dapat menjadi tubuh sastra yang merdeka? Seperti ironi yang ditulis Dimas Agoes Pelaz berikut,

Pidato Sang Raja di Negeri Antah Berantah

Wahai rakyatku,
Mengakhiri masa tugas yang berlalu penuh suka dan duka
Ingin kusampaikan pesan bersayap tanda agar kau mengerti
Bahwa lima abad kepemimpinan di negeri ini tak sedetikpun
Terlampaui tanpa haru biru. Centang prenang berbagai persoalan
Selesai anlogika, bahkan virus logika jungkir balik telah mewabah
Merasuk kesegenap pembuluh darah
Wahai rakyatku,
Masa-masa saling ingat mengingatkan telah kusulap
Parade para beo
Barisan bebek
Konvoi kambing congek
Wek wek wek
Wek wek wek
Wek wek wek
Prosesi sarat kehidupan para pengawal demokrasi
Berubah sepasukan robot tanpa hati
Remote dipegang para saudagar yang duduk ongkang ongkang
Hari-harinya menghitung laba bagai sang baba
Tanpa bekerja selain merampok uang negara
Nyanyian petani
Dendang buruh
Serenada mahasiswa
Semuanya mati suri

- yang tinggal hanya segelintir, ya segelintir saja -
Kangkungkang serambi dik
Aksi kang tunggu dulu dik
Kangkungkang serambi dik

Palembang, 1991

Begitulah suasana puisi-puisi kontekstual yang digambarkan Dimas Agoes Pelaz, mendekati masa akhir kekuasaan Orde Baru. Puisi tersebut seperti hendak menjelaskan teks parlementariat sastra atau sastra jalanan yang belum tervisualisasi dalam bentuk verbal sebuah gerakan massa atau gerumunan aksi jalanan. Perlawanan lebih banyak dilakukan dalam bentuk wacana dan diskusi kritis, di kalangan seniman atau sastrawan.

Kegetiran tersebut tidaklah sesuatu yang fragmented tetapi ada hal yang strategis diperjuangkan. Seperti kegelisahan akan sentiment-sentimen ideologis sebuah gerakan, yang secara komunal ikut menginspirasi perlawanan teks karya sastra. Hal ini seperti potret akhir siklus revolusi anti imperialis, yang kemudian dijadikan oleh kaum kiri menjadi gerakan bersama melawan neo-liberalis. Kontestasi sastra muncul dalam kejutan-kejutan tragis, memprioritaskan ruang ruang kebebasan untuk membangun aliansi teks yang lebih lebar dengan pilihan kata begitu selebrasi dan provokatif.

Melihat Indonesia 50 tahun lalu, kita dapat menyiapakan portofolio perjalanan politik dan sistem demokrasi kita pasca Dekrit 5 Juli tahun 1959 lalu, setelah Presiden Soekarno mengubur sistem parlementarian atau demokrasi parlementer, ke sistem presidential dengan Demokrasi Terpimpin. Yang kemudian dirubah lagi menjadi Demokrasi Pancasila oleh Soeharto. Nah, hari ini, 50 tahun lalu, setelah melewati frasa reformasi, demokrasi kita justeru direbut oleh elit oligarki. Hanya mempertemukan kepentingan-kepentingan jangka pendek yang bersifat individual, pragmatis, bahkan oportunis.

50 tahun lalu, tragedi dan kegetiran menjadi luka sejarah yang tak pernah mau sembuh. Kebodohan dan kemiskinan masih menyelimuti jutaan orang. Bagaimana mungkin karya-karya sastra akan menyepakati sebuah Indonesia, ketika berganti pemimpin luka-luka tersebut tak juga berakhir. Bahkan menjadi alat kampanye politik untuk merebut simpati rakyat. Dan lihatlah hasil pemilu yang menghabiskan trilyunan uang negara. Tidak lebih sebatas prosesi politik dan bagi-bagi kekuasaan para elit di negeri ini.


Menulis Neo Orba?

Pasca reformasi, setelah robohnya pemerintahan Orde Baru, kita mengalami kegamangan memilih sikap bersastra. Isu-isu demokrasi dan desentralisasi masa euphoria tersebut hanya berhasil mengkontestasi karya sastra sebagai luapan dendam dan kemarahan yang bertulang-ulang terhadap rezim Soeharto. Semua orang marah. Semua orang tiba-tiba menjadi pemberani dan heroik. Semua orang berteriak tentang konstitusi, amandemen berbagai aturan pemerintahan dan negara.

Indonesia betul-betul kebingungan mengenali kembali dirinya di tengah kejutan-kejutan heroik tersebut. Hiruk pikuk situasi politik dengan tumbuhnya puluhan partai dalam sekejap membelah menjadi pribadi-pribadi yang gamang. Jutaan orang panik. Mereka bingung mencari ibu dan bapak bangsa yang sebenar-benarnya. Selalu saja dibohongi. Selalu saja ditipu.

Pandangan skeptis tersebut sebagai fakta dari rentetan peristiwa yang telah dan sedang berlangsung hingga saat ini. Saya teringat Dimas Agoes Pelaz ketika kami bersama-sama berteriak dari rumah susun lantai 2 Blok 36, beberapa waktu silam, sebelum Orba dan Soeharto turun tahta. Saya, Dimas dan kawan-kawan lainnya seperti orang gila. Kami berteriak dan memukul-mukul dinding batako, menulis sajak, menulis apa saja, sebagai kegelisahan atas ketertindasan kami oleh sistem kekuasaan otoriter tersebut. Terus berteriak, hingga lapar dan kemiskinan sudah tak kami rasakan lagi.

Ternyata kemiskinan tidak membuat bodoh. Kemiskinan menjadi inspirasi melahirkan karya-karya tulisan yang menggugat, melawan rezim kekuasaan. Beruntunglah masa itu kami tidak ikut diculik militer. Sehingga tidak ikut-ikutan, seperti mereka sekarang ini, merapat ke lingkaran kekuasaan. Apakah kita masih setia berjaga di garis pinggiran. Garis yang selalu diyakini lebih tepat untuk berjaga dan mengawasi Indonesia.

50 tahun usia Dimas. Kita mulai menghitung kalender di ruang kerja. Setiap hari. Mengapa banyak kawan tiba-tiba meragukan Indonesia sekarang ini. Meragukan pemimpin sekarang ini. Era telah berubah. Presiden dan parlemen dipilih langsung oleh rakyat. Memang ada perubahan dalam konteks reformasi politik. Tetapi dari struktur geo-politik dan kebijakan ekonomi, Indonesia masih setia menjadi boneka-boneka neo liberalisme, yang menjalankan kepentingan global AS. Persis seperti Soeharto yang selalu melayani resep IMF dan World Bank.

Pemimpin terpilih pada pemilu lalu, seperti ingin menjelmakan kembali praktek Orde Baru dalam latar Indonesia, yang sudah relatif berubah menjadi negara liberal. Mereka beranggapan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu-lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga ”Private Property” pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.

Orde Baru dan Neo Orde Baru nyaris sama saja, keduanya menggerakkan kebijakan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada swasta. Sektor-sektor publik seperti yang ditangani pemerintah lewat BUMN-BUMN pun diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar. Negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum, memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apa pun. Mereka melakukan pemotongan subsidi. Juga beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan.

Buku “Gado-Gado 50 Tahun” Dimas Agus Pelaz, merupakan serpihan peristiwa yang dijalaninya dari Orba hingga menuju Neo Orba. Mungkin ada renungan lebih reflektif untuk melahirkan karya-karya baru, sebagaimana ketika saya mengenal profil lelaki asal Muntilan ini, selama belasan tahun di Palembang, hingga bermigrasi ke kota Jambi sekarang ini.

Betul, kita semakin tua. Hanya beberapa lembar portofolio yang mungkin sempat dicatatkan dalam perjalanan dan perjuangan hidup. Portofolio tersebut kelak bisa membuat kita tertawa atau menangis. Menulis kekalahan dan kemenangan. Atau bisa saja menjadi pemuas hati untuk melepaskan romantisme waktu, dan kegenitan masa lalu. Atau jadi syair kematian dalam sejarah.

Jika tak malu dibilang berkontemplasi, maka setengah abad adalah waktu yang cukup bagi semua orang melihat dirinya, menjaga dirinya, menjaga persahabatan, keluarga dan lingkungan hidup sekitarnya. Karena sudah tak ada waktu lagi kita untuk segera menandai identitas siapa kita. Mengumpulkan kembali penandaan yang berserakan. Atas nama identitas, “in the name of identity.” Dan bagimu, saya tuliskan sebuah narasi pendek:
 
bagimu sahabat, ketika kedukaan itu bukan lagi tangisan.
kita bersiap pergi, tidak dgn airmata. tidak dgn luka.
tidak atas nama kekalahan atau kemenangan.
kita pergi bersama janji yang melahirkan kita!

***

Kemiling, Bandar Lampung, 25 Juli 2009.
: artikel ini disumbangkan untuk buku "Gado-Gado 50 Tahun" Dimas Agoes Pelaz

Tidak ada komentar: