Siap-siap

Kini, bukan persoalan kemenangan dan kekalahan.
juga cinta dan khianat. tetapi menjelaskan
bahwa di keduanya ada hidup selalu berjaga.
teruslah berlari dari kaki-kaki terkecil...

Minggu, 05 Juli 2009

Sketsa Shibuya


Oleh Conie Sema
Laberto Chan, beberapa kali menghembuskan rokok kreteknya, di pojok halaman sebuah mall di Shibuya. “Ini lokasi surga,” bisiknya pelan ke telingaku. Smoking Area, Please! Teriaknya sambil setengah mengacungkan tangan. "Tobacco a gift from the Creator..!"

Laberto mengaku warga Hongkong. Aku kenal dia, dari sahabatku Johan, warga Malaysia. Laberto perokok berat. Makanya dia cepat akrab denganku. Kami merasa seperjuangan, sama-sama berjuang mencari area kebebasan. Kebebasan bisa sepuas hati menikmati candu rokok, dalam kelembaban udara Tokyo. “Salam bagi Meiji Sang Agung!” begitulah kalimat yang selalu diulang-ulang Laberto, acap kali bertemu wilayah surganya.

Bagiku dan mungkin juga bagi Laberto, kebebasan dapat muncul seketika ketika kami berada di luar wilayah yang serba mengatur dan serba melarang. Di negaranya sendiri, Hongkong, merokok di area larangan didenda cukup besar. Di wilayah publik seperti bandara Kwo Lon, merokok didenda 5.000 $ HK! Jadi pantaslah ketika ketemu wilayah bebas merokok, Laberto menganalogikannya sebuah kebebasan. Setidaknya selamat dan bebas dari denda serta ancaman hukuman lainnya.

“Manusia merasa bebas ketika lepas dari ancaman?” kataku menyindir Laberto, sembari mengeluarkan rokok yang sengaja aku bawa dari negeriku. Laberto tersenyum. “Di sini mereka membangun dan memelihara budaya, bukan politik demokrasi seperti di negaramu,” tanggapnya. “Indonesia persis negeriku Hongkong. “Kami baru saja melepaskan diri dari imperialisme Inggris. Begitu pun negerimu, baru saja merdeka dari jajahan Rezim Soeharto.”

“Jadi, wajar saja. Setiap pojok orang selalu bicara kebebasan dan demokrasi,” lanjutnya. “Hingga persoalan area merokok pun, diibaratkan tanah surga, atau bagian dari bentuk-bentuk ritual kebebasan rakyat, khususnya para perokok..hahaha!” Dan itu potret prilaku warga yang berada dalam era transisi politik maupun budaya, tambahnya. “Makanya kita harus banyak memaklumkan jika sering menemukan perilaku-perilaku aneh di masyarakat, seperti juga di negaraku. Perilaku para elitnya, juga tidak beda. Pokoknya serba aneh-aneh!”

Aku kembali menghisap rokokku. Perkataan Laberto mengingatkan aku pada hiruk pikuk pemilu di tanah air. Betul. Banyak sekali kita menemukan perilaku aneh-aneh bahkan lucu-lucu, baik dari rakyat yang bertarung merebut kursi parlemen, juga elit-elit partai politik yang Juli nanti berebut kekuasaan melalui pemilu presiden. Menjadi tontonan serba lengkap. Dari drama komedi, horor, percintaan, dan cerita hero atau pesilat. Tontonan serba lengkap ini disajikan setiap hari, mulai dari televisi, koran, dan media Online. Para pemainnya bermacam rupa. Ada yang terlihat beringasan. Ada yang bersahaja. Ada yang jaga image. Ada yang bergaya oposisi. Ada juga terlihat panik, atau panik beneran!

Di tengah tontonan itu, ada kata yang sangat populer mereka sebutkan yakni: Koalisi. Tukang becak, buru bangunan, pedagang ikan dan pedagang sayur di pasar, sangat lafal mengucapkan kata "Koalisi". Selain itu, ada gejalah baru lagi, nama para elit diucapkan dan ditulis dengan singkatan atau initial misalnya: SBY, JK, WR, HT, AT, SB, TK, BD, SM, PB, Mega, AB, SDA, HNW, SH, dan lain-lain.
“Beginikah potret perilaku orang-orang di era transisi,” tanyaku dalam hati, sambil menoleh ratusan bahkan ribuan orang yang setiap hari menyeberang di perempatan jalan Shibuya. “Apakah di negara lain, proses transisi menuju demokrasi sejati, dimulai dengan potret lucu dan aneh-aneh seperti itu?” tanyaku dalam hati.

Aku tak sempat menambah pertanyaan lagi, ketika Laberto menarik tanganku mengajak melanjutkan perjalanan menuju kereta JR Metro, di stasion Shibuya. “Kita tinggalkan tanah surga,” bisikku ke Laberto. "Tobacco a gift from the Creator..!" Kami berdua serentak tertawa. Tertawa-tawa dalam kerumunan orang-orang di penyeberangan jalan -- yang diklaim teramai di dunia itu. (***)

Sabtu, 30 Mei 2009

Sketsa Kowloon


Oleh Conie Sema -

Dalam kedinginan 13 derajat Celsius itu, aku melihat Resya tak ubahnya sebagai manusia baru yang mengenali kembali riwayat negerinya Indonesia. Henry hanya tersenyum melihat tubuhku menggigil menggulung udara dingin, pagi itu di Kowloon.

Aku kenal Henry delapan tahun lalu, di sebuah seminar di Jakarta. Dua tahun kemudian kami bertemu lagi di Bangkok. Resya sendiri teman kuliah, sudah lama menetap di Pulau Hongkong sejak bersuamikan warga negara Hongkong. Ia bekerja di sebuah perusahaan jasa wisata.

“Pasca rejim otoriter runtuh, Indonesia terlihat membelok arah dari transisi demokrasi ke transisi menuju neoliberalisme dan demokrasi pasar. Lihatlah! negara mulai diatur kekuasaan oligarki pasar...”

Pernyataan itu meluncur dari mulut Resya, menyelah percakapanku dengan Henry Tang, kawan diskusi selama dua pekan liburan di Tsim Sha Tsui East, Kowloon, Hongkong. Aku dan Henry baru saja membahas sejarah pelaut Portugis Jorge Alvares, yang menjadi orang Eropa pertama mengunjungi Hongkong.

“Demokrasi yang berpihak kepada rakyat, memang jalan panjang,” tanggap Henry. “Ia tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat..” tambah kepada Resya. Ungkapan Henry, mengganggu pikiranku atas kondisi demokratisasi Indonesia. Aku agak sedikit bingung membicarakan negeriku, dari pulau kecil yang lama dikuasai Britania Raya itu.

Hongkong yang memiliki salah satu pelabuhan terbesar di dunia itu, sebetulnya sudah lebih maju mengenal sistem perdagangan dan jasa lintas negara. Sejak era perdagangan kapitalisme Portugis ke era ekonomi liberalisme, hingga neoliberalisme sekarang ini. Mereka tentu lebih dulu memahami sistim perdagangan pasar bebas.

Ekonomi pasar bebas mulai bergulir awal berkuasa Ronald Regan di AS, dan Margaret Thatcher PM Inggris tahun 1980 lalu. Keduanya menggerakkan kebijakan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada swasta. Sektor-sektor publik seperti yang ditangani pemerintah lewat BUMN-BUMN pun diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar. Keduanya menganggap negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum, memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apa pun. Mereka melakukan pemotongan subsidi. Juga beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan.

Karena tindakan mereka itu, para analis percaya bahwa kedua tokoh itulah yang menjadi pelopor bergesernya kebijakan ekonomi ordo liberalisme klasik menjadi ordo neo-liberalisme di Eropa dan Amerika. Kebijakan ini kemudian ditiru oleh negara-negara lainnya tak terkecuali negara-negara Asia. Sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia setelah melihat success story ”macan-macan ekonomi Asia” seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan serta didorong oleh rasa frustasi dengan fakta sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan subtitusi impor, maka mereka mulai membuka pasar domestiknya dan mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Perubahan itu juga ditandai dengan dijualnya perusahaan-perusahaan negara kepada swasta, pasar bebas dan penghapusan subsidi kepada rakyat.

Mengutif artikel Wandy Variyawan, asumsi neoliberalisme adalah bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu-lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga ”Private Property” pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.

Jadi, sebenarnya mengubah kebijakan ekonomi walfare state ke ekonomi neo-liberalisme hanyalah mengembalikan semangat ajaran kapitalisme murni seperti pada awal masa revolusi industri di Inggris. Bagi mereka kebebasan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah, akan membawa kemakmuran.

Aku dan Henry, ketika di Bangkok, pernah mendiskusikan siasati negara neolib masuk ke negara berkembang. Mereka menggerakkan mesin-mesin neoliberalisme; IMF, Word Bank, CGI, Paris Club dan sebagainya. Metodenya tiga tahap: privatisasi, liberalisasi, dan pasar bebas. Kemudinya digerakkan WTO, negara-negara kapitalis mempromosikan atau lebih tepatnya memaksakan privatisasi, liberalisasi dan pasar bebas kepada negara-negara lain. Metode yang mereka pakai guna melegalkan ketiga kebijakan di atas antara lain dengan investasi asing, demokratisasi, tekanan ekonomi, tekanan politik, utang luar negeri sampai tekanan militer. Seperti yang dilakukan terhadap Afghanistan dan Irak.

Dapat diterima ungkapan Henry bahwa demokrasi tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat. Tak jarang demokrasi hanya menghasilkan penguasa lama yang berseragam baru dan kehidupan politik tetap berjalan muram. Bahkan demokrasi tak jarang 'memangsa' aktivisnya dalam jaring para bandit sekaligus menjerumuskan para pejuangnya dalam dosa sosial.

“Jadi, kekuatiran Resya atas ancaman demokrasi pro pasar di Indonesia tersebut, bukanlah kekuatiran yang tidak beralasan,” kata Henry.

“Betul!” sambut Resya semangat.

Obrolan bersama Henry Tang dan Resya itu, seakan mengulangi kembali cerita awal Henry tentang Hongkong. Sejak masuknya pelaut Portugal Jorge Alvares tahun 1513, Perang Opium Kedua, di Semenanjung Kowloon, atau coretan kecil perjalanan dari zaman Neolitikum hingga Neoliberalisme.

Dialog sejarah zigzag itu, membuat kami tertawa sembari melambaikan tangan ke arah kapal Star Ferry yang menyeberangi Victoria Harbour. Kami melihat di buritan kapal ada bendera kecil kelompok New World Group. Mereka membangun tempat pejalan kaki sepanjang tepi laut di sekitar New World Centre di kampung Henry, Tsim Sha Tsui East, Kowloon. "Lima tahun lalu mereka telah membelanjakan sekitar HK $40 juta, untuk membangun Avenue of Stars, sebuah proyek swasta yang didukung penuh pemerintah," ujar Henry. (*)