Siap-siap

Kini, bukan persoalan kemenangan dan kekalahan.
juga cinta dan khianat. tetapi menjelaskan
bahwa di keduanya ada hidup selalu berjaga.
teruslah berlari dari kaki-kaki terkecil...

Sabtu, 30 Mei 2009

Sketsa Kowloon


Oleh Conie Sema -

Dalam kedinginan 13 derajat Celsius itu, aku melihat Resya tak ubahnya sebagai manusia baru yang mengenali kembali riwayat negerinya Indonesia. Henry hanya tersenyum melihat tubuhku menggigil menggulung udara dingin, pagi itu di Kowloon.

Aku kenal Henry delapan tahun lalu, di sebuah seminar di Jakarta. Dua tahun kemudian kami bertemu lagi di Bangkok. Resya sendiri teman kuliah, sudah lama menetap di Pulau Hongkong sejak bersuamikan warga negara Hongkong. Ia bekerja di sebuah perusahaan jasa wisata.

“Pasca rejim otoriter runtuh, Indonesia terlihat membelok arah dari transisi demokrasi ke transisi menuju neoliberalisme dan demokrasi pasar. Lihatlah! negara mulai diatur kekuasaan oligarki pasar...”

Pernyataan itu meluncur dari mulut Resya, menyelah percakapanku dengan Henry Tang, kawan diskusi selama dua pekan liburan di Tsim Sha Tsui East, Kowloon, Hongkong. Aku dan Henry baru saja membahas sejarah pelaut Portugis Jorge Alvares, yang menjadi orang Eropa pertama mengunjungi Hongkong.

“Demokrasi yang berpihak kepada rakyat, memang jalan panjang,” tanggap Henry. “Ia tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat..” tambah kepada Resya. Ungkapan Henry, mengganggu pikiranku atas kondisi demokratisasi Indonesia. Aku agak sedikit bingung membicarakan negeriku, dari pulau kecil yang lama dikuasai Britania Raya itu.

Hongkong yang memiliki salah satu pelabuhan terbesar di dunia itu, sebetulnya sudah lebih maju mengenal sistem perdagangan dan jasa lintas negara. Sejak era perdagangan kapitalisme Portugis ke era ekonomi liberalisme, hingga neoliberalisme sekarang ini. Mereka tentu lebih dulu memahami sistim perdagangan pasar bebas.

Ekonomi pasar bebas mulai bergulir awal berkuasa Ronald Regan di AS, dan Margaret Thatcher PM Inggris tahun 1980 lalu. Keduanya menggerakkan kebijakan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada swasta. Sektor-sektor publik seperti yang ditangani pemerintah lewat BUMN-BUMN pun diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar. Keduanya menganggap negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum, memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apa pun. Mereka melakukan pemotongan subsidi. Juga beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan.

Karena tindakan mereka itu, para analis percaya bahwa kedua tokoh itulah yang menjadi pelopor bergesernya kebijakan ekonomi ordo liberalisme klasik menjadi ordo neo-liberalisme di Eropa dan Amerika. Kebijakan ini kemudian ditiru oleh negara-negara lainnya tak terkecuali negara-negara Asia. Sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia setelah melihat success story ”macan-macan ekonomi Asia” seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan serta didorong oleh rasa frustasi dengan fakta sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan subtitusi impor, maka mereka mulai membuka pasar domestiknya dan mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Perubahan itu juga ditandai dengan dijualnya perusahaan-perusahaan negara kepada swasta, pasar bebas dan penghapusan subsidi kepada rakyat.

Mengutif artikel Wandy Variyawan, asumsi neoliberalisme adalah bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu-lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga ”Private Property” pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.

Jadi, sebenarnya mengubah kebijakan ekonomi walfare state ke ekonomi neo-liberalisme hanyalah mengembalikan semangat ajaran kapitalisme murni seperti pada awal masa revolusi industri di Inggris. Bagi mereka kebebasan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah, akan membawa kemakmuran.

Aku dan Henry, ketika di Bangkok, pernah mendiskusikan siasati negara neolib masuk ke negara berkembang. Mereka menggerakkan mesin-mesin neoliberalisme; IMF, Word Bank, CGI, Paris Club dan sebagainya. Metodenya tiga tahap: privatisasi, liberalisasi, dan pasar bebas. Kemudinya digerakkan WTO, negara-negara kapitalis mempromosikan atau lebih tepatnya memaksakan privatisasi, liberalisasi dan pasar bebas kepada negara-negara lain. Metode yang mereka pakai guna melegalkan ketiga kebijakan di atas antara lain dengan investasi asing, demokratisasi, tekanan ekonomi, tekanan politik, utang luar negeri sampai tekanan militer. Seperti yang dilakukan terhadap Afghanistan dan Irak.

Dapat diterima ungkapan Henry bahwa demokrasi tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat. Tak jarang demokrasi hanya menghasilkan penguasa lama yang berseragam baru dan kehidupan politik tetap berjalan muram. Bahkan demokrasi tak jarang 'memangsa' aktivisnya dalam jaring para bandit sekaligus menjerumuskan para pejuangnya dalam dosa sosial.

“Jadi, kekuatiran Resya atas ancaman demokrasi pro pasar di Indonesia tersebut, bukanlah kekuatiran yang tidak beralasan,” kata Henry.

“Betul!” sambut Resya semangat.

Obrolan bersama Henry Tang dan Resya itu, seakan mengulangi kembali cerita awal Henry tentang Hongkong. Sejak masuknya pelaut Portugal Jorge Alvares tahun 1513, Perang Opium Kedua, di Semenanjung Kowloon, atau coretan kecil perjalanan dari zaman Neolitikum hingga Neoliberalisme.

Dialog sejarah zigzag itu, membuat kami tertawa sembari melambaikan tangan ke arah kapal Star Ferry yang menyeberangi Victoria Harbour. Kami melihat di buritan kapal ada bendera kecil kelompok New World Group. Mereka membangun tempat pejalan kaki sepanjang tepi laut di sekitar New World Centre di kampung Henry, Tsim Sha Tsui East, Kowloon. "Lima tahun lalu mereka telah membelanjakan sekitar HK $40 juta, untuk membangun Avenue of Stars, sebuah proyek swasta yang didukung penuh pemerintah," ujar Henry. (*)