Siap-siap

Kini, bukan persoalan kemenangan dan kekalahan.
juga cinta dan khianat. tetapi menjelaskan
bahwa di keduanya ada hidup selalu berjaga.
teruslah berlari dari kaki-kaki terkecil...

Jumat, 17 Oktober 2008

Mairat Mei

Cerpen CONIE SEMA

JOSE Ortega Gasset berkata, "Man has no nature; what he has is history." Bukankah hakikat manusia justru adalah kesejarahannya? ujar filsuf dari Spanyol itu. Tidak ada kepergian yang sempurna ketika Mei Hwa menjemput persalinan tanpa Rohan, suaminya. Mei menghilang di antara kerumunan benda-benda medis, dokter rumah sakit, apotek, dan klinik di kotanya. Ia paham setiap pagi harus menelepon untuk mengonsulkan keadaan bayi yang akan lahir dari perutnya.

"Hello, is this Graha Medical Hospital?"

"Yes! Who is speaking?" tanya wanita di telepon itu.

"Miss Mei Hwa, from Sakai City. May I speak director?"

"Just a moment, please; I'll see if he is in," katanya.

"Hello, hello. Is he in?"

"I'm sorry, he is going home. He is tired."

"What time will be here?"

"He won't be here this day. You'd better call him."

"What is telephone number?"

"Please dial number one two three four five."

"Thank you!" balas Mei meletakkan gagang teleponnya.

Mei Hwa tersenyum di atas ranjang rumah sakit. Ia baru saja melahirkan seorang bayi. Mei tidak peduli apakah bayi perempuan atau laki-laki. Paling penting baginya, hari itu ia terbebas dari kepungan benda-benda properti medis rumah sakit. Mei lega.

Ia bisa berbicara lagi tanpa ketakutan. Mei berharap tidak begitu lama bayinya bisa berdiri, berlari, dan berteriak sesuka hati. Beberapa kali Mei membacakan doa dan terima kasih kepada bapak-ibu, kakek-nenek, dan leluhur sebelumnya. Mereka telah mewariskan kemampuannya, kawin, hamil, dan melahirkan anak. Mei seperti mereka, akan mewariskan itu kepada anaknya. Anak-anak itu akan mengenal struktur tubuh yang terbuka, bahkan bagian tertutup dan terlarang. Menghapal bau tubuh lawan jenisnya.

Bermain seks seharian. Lalu bunting dan beranak. Bunting lagi dan beranak sebanyak-banyaknya. Mei yakin secara alamiah, anaknya pun mampu membaca seks. Fasih berbahasa cabul. Menyebut alat kelamin. Bertelanjang di hadapan pasangannya. Serta kewajaran alam lainnya. "Maaf, Dok, ini anakku yang pertama," jelas Mei.

Dokter tidak menjawab. Ia mengamati layar USG di atas sebelah kanan kepala Mei yang terlentang di atas ranjang, sembari menggerakkan alat deteksi di atas perut kecil Mei Hwa. "Suamiku sibuk. Ia tak sempat menemani aku kemari."

Dokter lalu menarik sedikit ke bawah celana dalam Mei. Matanya berkali-kali melihat ke layar monitor USG. Mei agak risih. Ia ingat kelakuan serupa suaminya ketika masa pacaran. Rohan beberapa kali menarik ke bawah celana dalamnya. Tapi seperti tangan dokter, hanya mencapai batas atas kemaluannya.

Mei buru-buru menarik tangan Rohan ketika turun lebih jauh menyisiri kemaluannya. Tak jarang Mei marah-marah dan menghentikan cengkerama cintanya. Kalau sudah seperti itu, wajah Rohan berubah pucat, terlihat tegang. Kadangkala sampai satu minggu mereka tak bertegur sapa.

"Sebelum kemari, suamiku menelepon. Ia bilang, ada rapat sore di kantornya. Ia akan menjemputku pulang," jelas Mei.

"Kamu yakin?" tanya dokter sembari menempel dan menggerakkan alat deteksinya di bagian atas kemaluan Mei.

"Kenapa?"

"Tidak. Saya ragu rapatnya selesai sore ini," jawab dokter sambil membuang senyum ke suster yang mendampinginya. Suster itu membalas senyuman dokter.

"Kenapa anda menyimpulkan suamiku seperti itu. Sejak pacaran, ia paling tepat janji. Tak pernah mangkir dari apa yang diucapkannya. Ia tak pernah telat mengantar dan menjemputku kuliah. Ia tak mau merepotkan orang lain karena pekerjaannya. Ia pekerja keras. Jujur dan tidak sombong. Ia sangat sayang kepadaku. Itu alasan mengapa aku memilih hidup bersamanya."

Dokter tidak menanggapi Mei. Ia meninggalkan Mei dan suster, menuju ke meja kerja yang bersebelahan kamar periksa. Di sana, pasien lain sudah menunggu.

"Tidak usah kau bahas kelakuan dokter itu. Mungkin ia punya pengalaman buruk. Saya berharap, kamu lebih betah cek kandungan kamu ke mari. Saya berusaha melayani semua pasien sebaik mungkin," kata dokter itu tersenyum manis, mempromosikan pelayanannya. Mei berhenti bercerita. Ia menunggu apakah dokter itu juga akan menarik celana dalamnya ke bawah. Sudah 10 menit ia memainkan alat deteksinya di atas perut Mei. Mei menduga ia lebih suka menyentuh perutnya yang tipis ketimbang kemaluannya. Mei tidak tahu apakah dokter muda itu telah menikah dan memiliki anak. Apakah terlatih bermain seks. Bertelanjang di hadapan pasangannya. Dan, fasih menyebut alat kelamin pasangannya. Mei menatap wajahnya yang sedari tadi bolak-balik dari menatap perut Mei ke layar monitor USG. Wajah itu begitu polos. Seperti kertas putih yang belum bercoret atau bergambar. Mei mencoba menebak artefak sejarah yang tersembunyi di balik wajah itu. Bola matanya bening. Alisnya rapi dan dirawat baik.

Begitu damai dan teduh. Mei baru kali ini bertemu anatomi wajah seperti itu. Ia kagum. "Maaf," kata dokter itu, menyingkapkan lebih tinggi baju kaos Mei.

Ia yakin kali ini tidak salah lagi memilih dokter. Mei menikmati gerakan tangan mungil sang dokter bersama alat deteksi di atas perutnya. Mei begitu percaya dan yakin dokter itu pasti melakukan yang terbaik untuk bayi di kandungannya.

Mei mencoba mencari bahasa santun untuk mengungkapkan kepuasan atas layanan medis dokter itu. Di benak Mei saat itu, ia akan berulang-ulang kembali lagi ke ruang praktek dokter itu. Ia menginginkan sang dokter pun akan berulang-ulang melakukan hal yang sama di atas perutnya. Tidak ada waktu bagi Mei berlama-lama menjelajah imajinasi seks dan kelahiran bayi.

Mei lahir di Tianjing, di mana seorang dokter menjadi bagian perangkat negara. Mei tidak bisa sesuka hati membangun bahasa-bahasa ibu dan anak. Seperti keinginan Mei memiliki ratusan anak dari setiap orang. Tetapi ia sadar hanya spermatozoa yang membuahi sel telurnya. Mei tidak bisa berharap banyak meski imajinasi seksnya menghendaki bercinta setiap hari dengan dokter itu. Sudah delapan dokter ahli kandungan di kota itu memeriksa Mei.

Semuanya melakukan hal yang sama. Sore itu, Mei berangkat ke kota lain. Ia mendapat tugas dari kampusnya, menjadi mentor program pemberdayaan petani. Mei berkesempatan memeriksa kandungan kepada dokter yang ada di sana.

"I am delighted to know you."

"My pleasure, too," jawab Mei kepada dokternya yang baru.

"Do you come from this village?"

"No. Ia don't."

"I am sure that you will be very happy here," tebak dokter itu kepada Mei.

"Of course. I help the village how to practise agricultures."

"Will you call at my house?" tawar dokter sambil tersenyum lembut.

Mei tersentak. Ia selalu menunggu kalau ada dokter yang memeriksanya menawarkan berkunjung ke rumahnya. Mei berharap dokter berambut pirang yang tengah melaksanakan kewajiban akademik dari kampusnya itu, hanya sendirian menunggu rumahnya.

Mei sendiri sudah satu pekan berkunjung ke desa itu, dalam rangka mensosialisasikan program pemberdayaan masyarakat petani dengan pola alih teknologi. Mei begitu bersemangat. Ia tidak akan kesepian. Ia mendapatkan teman baru yang kebetulan dokter kandungan. Mereka bisa saling berkunjung. Seharian menumpahkan perasaan hati.

"Very pleased to call at your house. But when will be convenient for you?"

"At anything being."

"How about at seven o clock?"

"Fine!" jawab dokter bersemangat.

Mei masih terpaku menatap dari belakang tubuh yang indah itu berlalu dari tempatnya berdiri. Malam ini ia akan berdua dengan dokter itu. Bercerita panjang sambil makan malam. Bertukar pengalaman hingga larut malam. Entah mengapa ia berharap dapat bercinta dengan dokter itu.

***

Udara malam. Bulan bulat penuh. Sinarnya menerobos masuk ke kamar tidur. Sudah enam bulan Mei di kamar itu. Hanya bayi di kandungannya yang sesekali menendang-nendang dinding perutnya.

Mei tidak tahu kenapa suaminya tidak juga pulang. Tidak menelepon akan menjemputnya dari tempat praktek dokter. Mei melihat tubuh ramping dan putih itu masih terbujur di atas ranjang. Cahaya bulan membentuk bayang siluet di atas tubuh yang tak terbalut selembar benang itu.

Hidup begitu meletihkan. Mei melihat wajah teduh dan damai itu tertidur pulas memeluk mimpi. Sudah beberapa dokter terbujur letih di atas ranjang kamar itu. Mei tak pernah mempersoalkan kelaminnya. Mereka orang-orang terpilih. Mei merasakan ada kedamaian dari sentuhan lembut tangan-tangan yang halus itu.

Mei tidak lagi memusingkan apakah suaminya akan menelepon atau tak pulang selamanya. Ia tak akan mencari tahu atau meneleponi Rohan. Lelaki itu raib dari rumah enam bulan lalu. Ia hanya pamit menjenguk ibunya. Keluarga suaminya juga mencari keberadaan Rohan. Mereka khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap Rohan. Belakangan keluarganya tak pernah lagi menghubungi Mei, menanyakan apakah Rohan sudah pulang. Mei menyimpulkan Rohan tidak membutuhkan lagi ia dan anaknya. Mei harus bersiap melahirkan bayi tanpa dijaga suaminya.

***

Sore itu, matahari pucat. Mei menahan nyeri melingkar dari punggung memencar ke perut bagian depan. Semakin lama semakin nyeri. Di atas ranjang rumah sakit Mei merasakan kontraksi di perutnya. Jarak intervalnya pun semakin pendek. Mei tidak mau mati dalam persalinan. Ia menolak dioperasi.

Dokter-dokter yang sempat singgah di kamar tidurnya, berulang-ulang meyakinkan bahwa ia akan melahirkan normal. Tidak induksi atau tindakan yang menggunakan forsep atau vakum ekstraksi. Dokter-dokter itu rutin memantau perkembangan Mei dan janin di perutnya dengan pemeriksaan fisik, seperti kesadaran, anemia, nadi, tensi, suhu badan, pernapasan, dan sebagainya. Dokter juga melakukan pemeriksaan obstetri.

Menyentuh perut Mei, merasakan letak janin. Dari layar monitor USG, para dokter melihat dan mengidentifikasi keadaan vagina Mei, tebal cervix, pembukaan, posisi kepala, dan turunnya presentasi kepala, serta bagian-bagian kecil janin di kandungannya.

Tidak banyak bisa dibaca Mei dari aktivitas dokter-dokter yang pernah memainkan tangan di atas perut hingga bagian atas kemaluannya. Mei belajar mengompromikan etika dengan keharusan medis. Kesepakatan itu entah mengapa muncul secara alamiah.

Tidak terpaksa, apalagi dipaksa. Mei tidak menolak. Jika akhirnya dokter meminta dioperasi. Kendati untuk sekarang ini, Mei menolak. Ia tak mau bayinya lahir, ketika ia dalam kondisi tak sadarkan diri karena dibius total. Mei tak mau terlalu lama dipisahkan dari bayinya karena harus masuk ke ruang recovery usai operasi. Ia ingin melahirkan bayinya, bisa langsung kontak semua orang untuk mengabarkan kebahagiaannya.

***

Malam itu, hampir satu bungkus rokok habis diisapnya. Seluruh kamar tidur Mei sesak asap nikotin. Sementara tubuh berkulit halus itu masih tertidur pulas di ranjangnya. Lampu kamar tak pernah lagi dihidupkan. Mei dan dokter hanya berharap siraman cahaya bulan di luar sana, menerobos masuk kamarnya.

Sudah satu bulan Mei kembali ke rumahnya. Dokter berambut pirang itu ikut bersamanya.

"Mengapa kami kehilangan lelaki?" ujar Mei seolah berbisik dengan purnama mewakili tubuh dokter yang terbujur letih di kamarnya. Sudah puluhan purnama Rohan membiarkan Mei dan bayinya, bersama dokter di kamar itu. Mei menatap dokter yang lelah setelah bercinta sejak sore di kamarnya.

Mei lalu melihat kembali purnama yang bulat penuh. Ada siluet wajah bayi muncul di sana. Mei membayangkan puncak jeritannya saat bercinta dengan jeritan panjang ketika hendak mengeluarkan bayi dari perutnya. Mei merasakan prosesi seks yang jauh dari kenikmatan ketika melahirkan seorang anak. Semula ia berkali-kali menjerit menahan sakit. Berkali-kali menarik napas dan menahannya.

Ketika kontraksi semakin pendek intervalnya, Mei membuang kesakitan itu ke wajah sang dokter. Ia membayangkan bercinta dengan dokter itu. Tubuh Mei tergeletak di atas ranjang, terlihat mengejang. Ia bertarung hidup mati menembus lendir bercampur darah yang keluar begitu banyak. Mei menghafalkan lekukan tubuh dokter dengan harapan masih ada kenikmatan dalam prosesi persalinannya.

"Bertahanlah. Tariklah napas dalam-dalam. Sebentar lagi bayimu lahir," kata dokter memberi semangat. Mei tidak menjawab. Dan memang tidak bisa menjawab. Ruang dingin dalam kamar persalinan, menyeka laju keringat dari tubuh orang-orang medis yang menunggu bayi muncul dari vaginanya yang mulai membesar. Mei tersenyum sambil menahan sakit. Ia berusaha menikmati kesakitan itu. Rektum terlihat menonjol. Anusnya pelan-pelan membuka. Labia terbuka dan bagian kepala bayi itu kelihatan muncul di lubang vagina. Pembukaan cervix begitu sempurna. Bayi Mei lahir. Ia bukan laki-laki. Mei merasa letih bercampur gembira. Ia melahirkan bayi tanpa operasi. Bayi itu, sekali lagi, bukan laki-laki. "Mengapa kita kehilangan lelaki?" tanya dokter itu.

***

Dua tahun setelah Mei melahirkan bayinya, Rohan muncul. Ia tidak tidur di ranjang kamar mereka. Karena sudah menjadi kamar praktek dokter-dokter yang bergantian menjaga isterinya. Rohan paham. Ia terlalu lama meninggalkan kamar tidur itu tanpa menitipkan metafora dirinya. Hanya sekotak kondom tua yang sudah rusak dan bocor dimakan waktu. Kondom-kondom itu tergeletak di atas nakas kecil sebelah ranjang tidur Mei.

Seakan memprovokasi kebencian purba kaum perempuan terhadap lelaki. Rohan pulang. Ia mengajak Mei sekali lagi bercinta seharian dari kamar hingga ke tepi tangga ruang belakang. Namun Mei menolak. Ia tak punya waktu menjinakkan kembali keliaran tubuh dokter berambut pirang dan dokter-dokter lain yang terkapar di atas ranjangnya. Mei dan dokter-dokter berlengan halus itu sudah terlalu lama kehilangan lelaki. Sulit baginya menghidupkan kembali berahi masa lalu melalui artefak sejarah lelaki yang terlupakan.

Mei akhirnya membunuh Rohan, setelah malam itu suaminya berhasil memerkosanya. Rohan hanya tersenyum ketika Mei menancapkan pisau dapur itu berulang-ulang ke perutnya. Rohan menikmati kekerasan demi kekerasan di atas ranjang kamarnya.

Percikan darah yang muncrat dari tubuh lelaki itu memenuhi tembok kamar. Rohan kembali tersenyum penuh kemenangan hingga akhirnya mengejang kaku. Tidak lama dari aksi pembantaian itu, telepon genggam Mei berbunyi.

"Very pleased to call at your house. But when will be convenient for you?" kata Ana Maria, satu dari dokter-dokter yang menjadi teman tidur Mei. Mei tidak menjawab. Ia baru kehilangan tubuh lelaki. Rohan telah meningalkannya. Mei sempat memotong kemaluan suaminya, untuk mempertegas metafora dari kebermaknaan purba itu. Sepuluh tahun kemudian Rohan kembali bersamanya dalam kamar itu. Sementara bayi yang bukan lelaki, semakin membesar membangun kontruksi tubuhnya sendiri. Mei hanya menangis.

Dokter-dokter persalinan dalam kamarnya tak mampu membesarkan perutnya untuk melahirkan bayi-bayi baru sebanyak mungkin. Sebagaimana mimpi-mimpi Mei ketika dinikahi Rohan. "Tak akan pernah lahir bayi dari tubuh halus mereka," ungkap Mei menoleh ke dokter yang masih tertidur pulas di ranjangnya.

"Mengapa kamu membunuh Rohan?" tanya ketua majelis hakim.

"Ia tidak mencintai aku," jawab Mei.

"Kamu menyesal?"

"Tidak!"

"Mengapa?" tanya hakim kesal.

"Aku tak butuh Rohan!"

Mei akhirnya divonis hukuman 10 tahun penjara. Di dalam kamar sel wanita penjara kelas satu itu, Mei menemukan sejarah dirinya. Ia tersenyum. Karena tidak lagi mengonsumsi simbol kemaluan suaminya. Mei pergi dengan mengebatkan sal panjang di lehernya. Ia tak ingin terperangkap jeruji besi kamar sel itu.

Mei ingin melepaskan keletihan. Tidur memeluk sunyi. Lalu tubuh perempuan itu jatuh mencium lantai. Pintu sel dibuka. Terlihat samar sepatu-sepatu lelaki berjajar tepat di wajahnya. Setelah itu gelap. Mei pergi meninggalkan penjara dan bayinya yang terus membesar. Mereka bukan lelaki. (*)

Senin, 13 Oktober 2008

Lesung


Akulah lesung bagi kerinduanku akan sejarah Kisam. Akulah lesung yang hilang dari aroma sungai. Bergelut dengan dingin pengelandangan.

Jumat, 10 Oktober 2008